Sunday, November 1, 2009

Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan

Nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada umat manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antara nikmat paling agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan adalah diciptakan-Nya mereka di atas fitrah yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Di antara fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)
Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 58)
Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.
Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah, para nabi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
الْأَيْدِي maknanya kuat dalam melaksanakan kebenaran, الْأَبْصَارُ maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam urusan agama.
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)
Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.
Adapun faktor-faktor yang akan menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya. Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.
Di antara sekian banyak faktor tadi, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam q. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al-Hasad (Kedengkian)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’: 54)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تَحَاسَدُوا
“Janganlah kalian saling iri dan dengki.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi rahimahullahu berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat. Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut ilmu).” (At-Tankil, 2/190)
Oleh karena itulah, kebanyakan orang menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya.
Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran (orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 136)
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Di antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).
Dalam perseteruan ini, sungguh kita menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil1.” (Adabuth Thalib, hal. 91-92)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)

Al-Kibr (Kesombongan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Karena faktor-faktor inilah, orang-orang Yahudi terus-menerus di atas kebatilannya. Yaitu karena apa yang ada dalam hati-hati mereka seperti kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hal. 27)
Dengan hal inilah kita mendapatkan kejelasan bahwa kesombongan itu adalah salah satu penghalang untuk menerima kebenaran.
Demikian juga apabila kesombongan itu telah memenuhi hatinya, akan menjadikan pemiliknya menganggap dirinya tinggi dan sempurna, sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga akan menghalanginya dari evaluasi dan introspeksi diri, barangkali yang keliru adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Orang yang sombong adalah orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain (dalam segala perkara).” (At-Tabashshurah, 2/222)
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim bagi dirinya, maka mereka tidak akan memedulikan apapun. Mereka tidak akan memperhitungkan hal-hal yang menyelisihi pendapatnya sama sekali. Mereka juga tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pandangan-pandangannya. Tidak sebagaimana sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri (barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan suatu permasalahan (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).” (Al-I’tisham, 2/269)
Orang-orang yang mengikuti kebenaran adalah orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya adalah orang-orang yang gigih mencari dan menuntut kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidaklah enggan untuk mengevaluasi pendapatnya. Tidak enggan pula untuk menuntut hakikat kebenaran dari suatu pemasalahan. Lebih-lebih pada hal-hal yang menimbulkan masalah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sungguh aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil lebih dari sekali berkata: ‘Demi Allah, kami tidak mengkhawatirkan dakwah ini, kecuali dari diri-diri kami.’ Aku (Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam) katakan: Demi Allah, sungguh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu memiliki firasat yang tepat, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbahnya dengan ucapan:
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari kejelekan amalan kami.”
Maka, jiwa kita, apapun kebaikan yang ada padanya, mesti terdapat kekurangan atau kejelekan.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 68-69)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Seseorang beralih dari suatu pendapat kepada pendapat yang lain karena kejelasan yang dia dapatkan, adalah sikap terpuji. Berbeda dengan sikap orang yang sombong, terus-menerus di atas suatu pendapat yang tidak mengandung hujjah atau dalil yang kuat (ini adalah sikap yang tercela). Sedangkan meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujjah atau dalilnya, atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan mengikuti hawa nafsu, itu adalah sikap yang tercela pula.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 5/125)

Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan Hasad
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Makna tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghina diri, patuh, dan masuk di bawah perbudakannya. Di mana kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan akhlak tawadhu’. Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Hammad bin Ibrahim berkata: “Kebenaran itu telah jelas dan mudah. Di mana manusia diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang yang telah rusak fitrahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi ahli bid’ah serta orang yang mengikuti hawa nafsunya.” (Ash-Shawarif ‘anil Haq, hal. 41)
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “Ucapan mereka bahwa kebenaran itu pahit, itu adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya sakit. Seorang penyair berkata:
فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرّ مَرِيضٍ يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا
Orang yang mulutnya pahit, dia sakit
dia merasakan pahit dengannya air yang segar.
Maka, orang yang sehat fitrahnya akan senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (Adz-Dzani’ah ila Makarisy Syari’ah, hal. 126)
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Manusia itu tidak akan berubah dari tabiat-tabiatnya yang jelek, dan tidak akan meninggalkan kesenangannya terhadap berbagai macam kebiasaan kecuali dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits, 1/218)
Siapapun yang jiwanya belum terlatih menerima kebenaran, maka jiwa tersebut membutuhkan latihan dan pendidikan sampai jiwa itu menuruti kebenaran dan tunduk kepadanya, senantiasa mengoreksi amalan-amalan yang telah dia lakukan, dan senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mudah menerima al-haq.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu adalah kebenaran dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk menjauhinya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)
Ya Allah, limpahkanlah qalbun salim (hati yang selamat dan bersih) kepada kami kaum muslimin, mukminin, salafiyyin, hati yang selalu menerima al-haq, mencintainya dan selalu mendahulukannya, hati yang putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kokoh di atas al-haq.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

Read more...

Wasiat Qasim bin ‘Ashim Kepada Putra-Putranya

Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jadikanlah orang tertua di antara kalian sebagai pemimpin. Sungguh apabila suatu kaum mengangkat orang tertua mereka sebagai pemimpin niscaya pemimpin tersebut akan menggantikan peran orang tua mereka dalam memberikan/melakukan yang terbaik bagi mereka. Jikalau orang termudanya yang dijadikan sebagai pemimpin yang ditaati tentu akan menyebabkan berkurangnya penghormatan terhadap orang-orang tuanya, berakibat pada pembodohan mereka, peremehan, serta sikap tidak merasa butuh terhadap orang-orang tua tersebut.
Hendaklah kalian memiliki harta dan mengembangkannya melalui pekerjaan/usaha yang baik, karena hal itu akan menjadikan kalian memiliki kemuliaan serta kedudukan yang tinggi serta mencukupkan kalian dari meminta-minta. Hati-hatilah kalian, jangan sampai mengemis-ngemis kepada manusia, karena hal itu merupakan batasan terakhir dari usaha seseorang. Jika aku mati, janganlah kalian melakukan niyahah (meratap), sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diniyahahi. Jika aku mati, kuburkanlah di tanah yang tidak diketahui oleh Bani Bakr bin Wail, karena di masa jahiliah dulu, aku pernah menyerang mereka secara tiba-tiba pada saat mereka lengah.”
(Syarh Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 475)

Read more...

Bahaya Berloyalitas dengan Orang Kafir

Islam adalah agama yang haq. Hanya Islam yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali ‘Imran: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan Nya, tidaklah ada seorang dari umat ini mendengarku, baik Yahudi atau Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, maka dia adalah penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Ketahuilah, di antara perkara yang telah diajarkan dalam Islam adalah menjauhi dan tidak berwala’ (loyalitas) kepada orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An-Nisa’: 144)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali ‘Imran: 28)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Ma’idah: 51)
Ketahuilah, ada beberapa hal yang harus dilakukan, diperhatikan, dan dipenuhi dalam rangka menyempurnakan sikap bara’ (berlepas diri) terhadap orang kafir, di antaranya:
1. Meninggalkan (tidak mengikuti) hawa nafsu mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang mengikuti hawa nafsu mereka dalam Al-Qur’an, di antaranya:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang mengikuti hawa nafsu orang kafir dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu sebagai hukum dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu megnikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu dari Allah.” (Ar-Ra’d: 37)

2. Tidak menaati perintah-perintah mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita taat kepada orang kafir dan menegaskan jika kaum mukminin menaati mereka niscaya mereka akan dikembalikan kepada kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 149)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (Ali Imran: 100)

3. Tidak menyandarkan diri kepada orang kafir dan orang-orang zalim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْلاَ أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً. إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong kepada mereka. Jika terjadi demikian, benar-benarlah akan Kami timpakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapati seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra: 74-75)

4. Tidak mencintai dan menyayangi musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menerangkan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya tidak ada orang mukmin yang mencintai orang kafir. Barangsiapa mencintai orang kafir (yakni mencintai karena agama) maka dia bukanlah mukmin.”

5. Tidak bertasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perbuatan mereka yang dhahir/lahir. Karena hal tersebut akan menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang, dan loyalitas dalam hati. Sebagaimana rasa cinta dalam batin akan menyebabkan ingin meniru secara lahir. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka.”
(Lihat Sabilun Najah Wal Fikak min Muwalatil Murtaddin wa Ahli Asy-Syirk hal. 50-85)

Seruan Persatuan Agama bukan Ajaran Islam
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa Islam adalah satu-satunya agama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Islam memerintahkan kaum muslimin untuk tidak berloyalitas apalagi mencintai serta berkasih sayang dengan orang kafir.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengingatkan para pembaca tentang satu bahaya yang harus kita waspadai dan kita peringatkan umat darinya. Yaitu munculnya orang-orang yang dianggap “tokoh” belakangan ini yang menyerukan seruan sesat: persatuan agama samawi (penyatuan agama Ibrahimiyah, persaudaraan lintas iman, atau istilah yang sejenis).
Ini adalah seruan yang kufur dan menyeret kepada kekufuran. Karena, seruan kufur ini sama dengan menyeru untuk tidak mengafirkan orang kafir. Lebih parah dari itu, sama dengan menolerir serta membenarkan keyakinan orang-orang kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata, “Barangsiapa tidak mengkafirkan musyrikin atau ragu tentang kekafiran mereka atau membenarkan keyakinan mereka, maka dia telah terjatuh dalam kekafiran.” (Lihat risalah Nawaqidhul Islam)
Telah ada fatwa ulama dalam masalah ini, di antaranya fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 19402, 25 Muharam 1418 H, tersebut dalam poin ke-8 dalam fatwa tersebut:
“Seruan kepada persatuan agama jika muncul dari seorang muslim jelas merupakan kemurtadan dari agama Islam karena berlawanan dengan pokok-pokok aqidah. Karena (dia) menyeru untuk meridhai kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengingkari kebenaran Al-Qur’an dan keadaannya yang menghapus kitab-kitab sebelumnya, mengingkari bahwa Islam menghapus seluruh agama, syariat, dan lainnya. Berdasarkan hal ini maka seruan tersebut adalah pemikiran yang tertolak secara syar’i dan dipastikan keharamannya, berdasarkan semua dalil syar’i dalam Islam dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.” (Dinukil dari Risalah Tsalats Fatawa Muhimmah)

Seruan Persatuan Agama Adalah Pemikiran Yahudi-Nasrani
Seruan ini sebetulnya seruan yang berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani untuk menyesatkan dan memurtadkan kaum muslimin. Berdasarkan perjalanannya dalam sejarah, seruan mereka ini mengalami empat marhalah (fase):
1. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bagaimana usaha Yahudi dan Nasrani untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, mengembalikan mereka kepada kekufuran dan menyeru untuk mengikuti Yahudi atau Nasrani.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 109)
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” (Al-Baqarah: 135)
2. Marhalah kedua adalah menyeru kepada pemikiran ini setelah habisnya masa tiga generasi utama.
Muncul kembali di masa ini seruan kufur ini dengan slogan bahwa Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah seperti mazhab yang empat yang ada pada kaum muslimin. Pemikiran ini diterima oleh sebagian penyeru “wihdatul wujud”, ahlul hulul wal ittihad, orang-orang sesat dari kalangan Shufiyah (sufi) di Mesir, Syam, dan Persia serta sebagian negeri non-Arab. Demikian juga orang-orang sesat dari kalangan Rafidhah. Kesesatan mereka sampai taraf membolehkan seseorang masuk Yahudi atau Nasrani, bahkan menyatakan Yahudi dan Nasrani lebih afdhal (utama). Syaikhul Islam rahimahullahu telah membahas dan menyingkap kebobrokan mereka dalam kitab-kitabnya (lihat Majmu’ Fatawa). Di antara orang-orang ekstrem yang telah dibantah Ibnu Taimiyah adalah: Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, At-Tilmisani, dan Ibnu Hud.
3. Marhalah ketiga adalah menyeru kepada pemikiran ini di pertengahan abad ke-14 H.
Seruan kepada kekufuran ini kemudian kembali didengungkan pada masa tersebut yang dipelopori kelompok Freemasonry yaitu gerakan Yahudi untuk menguasai dunia dan menyebarkan kesesatan dengan: Menyeru persatuan agama, menolak ta’ashub karena semua beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara yang terjerat jaring dakwah mereka adalah Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Di antara ulah Muhammad Abduh adalah bersama seorang Iran, Muhammad Baqir Al-Irani, yang telah masuk Nasrani kemudian kembali kepada Islam, dan beberapa orang lainnya membuat satu organisasi Jum’iyah Ta’lif wa Taqrib (Penyatuan dan Pendekatan). Inti kerja perkumpulan ini adalah mendekatkan (menyatukan) tiga agama.
4. Marhalah keempat adalah menyeru kepada pemikiran ini di masa sekarang
Di akhir abad ke-14 sampai zaman kita ini, Yahudi dan Nasrani kembali menyuarakan persatuan agama ini dengan berbagai macam slogan:
- Persatuan pengikut Musa q, Isa q, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Seruan persatuan agama Ibrahimiyah, dan slogan-slogan lainnya.
(Lihat tentang perkembangan pemikiran ini dalam kitab Al-Ibthal li Nazhariyatil Khalth baina Dinil Islam wa Ghairiha minal Adyan hal. 16-24)
Kami paparkan perkembangan pemikiran kufur ini agar jelas bagi kita bahwa pemikiran ini berasal dari Yahudi dan Nasrani, yang dibungkus dengan slogan-slogan yang menipu kaum muslimin.
Oleh karenanya seorang muslim tidak boleh menerima seruan tersebut, apalagi mengikuti pertemuan-pertemuan/muktamar-muktamar mereka. Bahkan seorang muslim haruslah menolak dan memperingatkan umat dari pemikiran sesat ini serta mengusirnya dari negeri kaum muslimin. Pemerintahan muslim wajib menghukum para penyeru pemikiran ini dengan hukuman atas seorang murtad. Ini semua dalam rangka menjaga agama, dan sebagai sebuah bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjaga aqidah kaum muslimin.
Ketahuilah, barakallahu fikum (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi Anda sekalian), makar Yahudi dan Nasrani yang didukung para “tokoh” kesesatan untuk memurtadkan kaum muslimin akan terus bergulir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Mudah-mudahan sedikit yang kami sampaikan ini bisa menjadi peringatan dan menjadi bekal bagi kita semua untuk senantiasa menjaga diri kita dan keluarga dari makar orang-orang kafir.
Wallahu a’lam.

Read more...

Meniti Jalan yang Lurus

وَعَلَى اللهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” (An-Nahl: 9)

Penjelasan Mufradat Ayat
قَصْدُ السَّبِيلِ
“Jalan yang lurus.”
Qashd dalam ayat ini bermakna isim fa’il (qashid/ قَاصِدٌ), yang berarti lurus. Sedangkan sabil berarti jalan. Maka qashdus sabil bermakna lurusnya sebuah jalan atau jalan yang lurus.
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan dalam kitabnya Adhwa’ Al-Bayan: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud qashdus sabil adalah jalan lurus yang tidak mengandung kebengkokan. Makna ini adalah hal yang telah diketahui dalam lingkup bahasa Arab.”
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Al-Qashd adalah keadilan, sebagaimana ia juga bermakna lurus dan kebenaran, yaitu yang sesuai dan sepadan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang.” (Majmu’ Fatawa, 17/230)
Ungkapan para ahli tafsir dalam menjelaskan maknanya memang beragam, namun pada hakikatnya kembali kepada inti makna, yaitu jalan yang lurus, tidak menyimpang, yang senantiasa berada di atas bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan petunjuk dan kesesatan.”
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Syariat dan perkara-perkara yang wajib.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Jalan kebenaran menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Qatadah rahimahullahu berkata: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan halal, haram, ketaatan, dan kemaksiatan.”
As-Suddi rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) Islam.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) As-Sunnah.”
Syaikhul Islam mengatakan: “Hidayah, qashdus sabil, dan jalan yang lurus, semuanya menunjukkan ibadah dan taat kepada-Nya, tidak menunjukkan kemaksiatan dan taat kepada setan.” (Majmu’ Fatawa, 15/214)
وَمِنْهَا جَائِرٌ
“Dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok.”
Dhamir ha kembali kepada lafadz sabil, disebutkan dalam bentuk mu’annats karena lafadz tersebut bisa dijadikan mudzakkar dan mu’annats. Sebagian menyebutkan bahwa lafadz sabil dalam ayat ini bermakna jamak meskipun bentuknya mufrad.
At-Thabari rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membacanya وَمِنْكُمْ جَائِرٌ. Maknanya adalah bahwa di antara jalan-jalan tersebut terdapat jalan-jalan yang menyimpang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jalan-jalan yang terpecah-pecah.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Berbagai macam hawa nafsu.” Yang semakna dengannya disebutkan pula oleh Ubaid bin Sulaiman, Ibnu Juraij, dan yang lainnya.
Sebagian mengatakan: “Qashdus sabil adalah agama Islam, sedangkan ja’ir adalah agama kekufuran dengan berbagai macamnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “Mereka adalah pengekor bid’ah dan hawa nafsu.”

Penjelasan Makna Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki hak yang mutlak dalam membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai karunia dan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba tersebut. Bimbingan itulah yang menyebabkan seorang hamba senantiasa istiqamah di atas Islam, di atas As-Sunnah, yang merupakan satu-satunya jalan kebenaran. Selain jalan ini, merupakan jalan-jalan yang menyimpang dari al-haq. Ada kalanya menuju kekufuran serta kesyirikan, dan ada kalanya menuju kepada bid’ah serta hawa nafsu. Seorang hamba yang dibimbing menuju jalan yang lurus adalah semata-mata karena rahmat dan karunia-Nya k. Sedangkan seseorang yang tersesat dan menyimpang, itu merupakan bentuk keadilan dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Syaikhul Islam berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Ini juga termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin untuk menjelaskan dan merinci jalan petunjuk, yaitu dengan cara menegakkan dalil-dalil serta mengutus para rasul. Ini yang disebutkan oleh para ahli tafsir. Ada pula kemungkinan maknanya bahwa siapa yang menempuh jalan yang lurus maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing jalannya dan akan sampai kepada-Nya. Sebagaimana halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ
“Allah berfirman: ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)’.” (Al-Hijr: 41) [Majmu’ Fatawa: 15/207]
Sebab jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, bukanlah hal yang sulit bagi-Nya untuk menjadikan semua orang dalam keadaan mukmin dan taat kepada-Nya. Namun sudah menjadi ketetapan dan hikmah-Nya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian manusia ada yang kafir dan menyimpang dari jalan-Nya, karena hikmah dan kemaslahatan yang lebih besar yang telah menjadi ketetapan dan kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripadaku; ‘Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’.” (As-Sajdah: 13)
Juga firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 253)
Firman-Nya pula:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Ma’idah: 48)
Dan firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35)
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: “Seseorang tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan menempuh jalan lurus yang disyariatkan oleh-Nya, diridhai-Nya. Adapun selain itu, maka itu adalah jalan yang tertutup serta amalan-amalan yang tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “(Ayat ini) menjelaskan bahwa kehendak takdir adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan ini membenarkan penafsiran yang disebutkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Juga membantah kelompok Al-Qadariyyah (pengingkar takdir) dan yang sependapat dengan mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Takdir merupakan hal yang benar, namun memahami Al-Qur’an dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta menjelaskan hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama dengan keimanan kepada takdir, merupakan metode para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa, 15/211)

Memahami Perbedaan Ungkapan Ahli Tafsir
Jika kita perhatikan pendapat para ulama dalam menafsirkan kata qashdus sabil dan waminha ja’ir, nampak terjadi perselisihan di antara mereka. Namun pada hakikatnya, ikhtilaf tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Sebab apa yang mereka perselisihkan tersebut termasuk di antara jenis ikhtilaf tanawwu’, yaitu perselisihan yang tidak saling kontradiksi, namun saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam risalahnya Muqaddamah fi Ushul At-Tafsir, di mana beliau menjelaskan bahwa perselisihan di kalangan ahli tafsir yang termasuk dalam jenis ikhtilaf tanawwu’ ada dua macam:
1. Setiap mereka memberi ungkapan tertentu yang berbeda dengan ungkapan ahli tafsir yang lain, yang semua ungkapan itu menunjukkan makna tersendiri yang terdapat pada sesuatu yang ditafsirkan tersebut. Seperti halnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya. Seperti halnya nama Allah Al-Aziz yang memiliki makna dan sifat kemuliaan, berbeda dengan nama Ar-Rahman, yang mengandung sifat kasih sayang-Nya. Masing-masing dari nama Al-Aziz dan Ar-Rahman kembali kepada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara nama beliau adalah Al-Mahi, yang artinya penghapus kekufuran. Di antara nama beliau adalah Al-’Aqib, yang artinya tidak ada nabi setelah beliau. Juga di antara nama beliau adalah Ahmad, artinya orang yang terpuji. Namun setiap dari nama tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda, namun pada hakikatnya kembali kepada satu diri, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula penafsiran para ulama dalam menjelaskan makna ash-shiratul mustaqim, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Sebagian berkata maksudnya mengikuti Al-Qur’an. Sebagian lagi mengatakan, maksudnya As-Sunnah dan Al-Jama’ah, sebagian lagi mengatakan maksudnya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta yang lainnya. Seluruhnya mengisyaratkan kepada inti yang sama, dengan pengungkapan sifat yang berbeda.
2. Masing-masing menafsirkan sebuah nama yang umum dengan sebagian yang bersifat khusus untuk dijadikan sebagai contoh, bukan bermaksud untuk membatasi penafsiran hanya dalam sesuatu yang disebutkan tersebut. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang bukan Arab bertanya tentang apa yang dimaksud dengan lafadz khubuz (roti), lalu dijawab dengan memperlihatkan salah satu jenis roti. Itu bukan berarti bahwa khubuz memiliki makna terbatas yang dicontohkan itu saja, namun khubuz meliputi jenis yang lain pula, yang merupakan jenis makanan yang terbuat dari gandum dengan berbagai bentuknya.
Seperti halnya dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Telah dimaklumi bahwa makna az-zalim linafsihi (yang menganiaya diri sendiri) mencakup setiap orang yang melalaikan hal-hal yang wajib, yang melakukan perbuatan yang diharamkan. Sedangkan al-muqtashid (yang pertengahan) meliputi setiap orang yang melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan perkara haram. Adapun as-sabiq (yang lebih dahulu berbuat kebaikan) mencakup setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan kebaikan disamping hal-hal yang wajib tersebut.
Namun bila kita melihat pendapat ahli tafsir, kita mendapati bahwa di antara mereka ada yang menafsirkan dengan menyebutkan salah satu dari amalan shalih yang dilakukan seorang hamba. Seperti ada yang menyebutkan bahwa as-sabiq adalah orang yang shalat pada awal waktu, al-muqtashid adalah orang yang shalat pada pertengahan waktu, sedangkan azh-zhalim linafsihi adalah orang yang melambatkan waktu shalat ashar hingga matahari menguning.
Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengatakan bahwa as-sabiq adalah orang yang bersedekah, azh-zhalim linafsihi adalah orang yang bermu’amalah dengan cara riba, sedangkan al-muqtashid adalah orang yang berjual beli dengan cara yang adil.
Sebagian lagi menyebutkan penafsiran yang berbeda, yang jika kita perhatikan, sesungguhnya tidak ada perselisihan yang saling bertentangan dari berbagai penafsiran tersebut. Hanya saja masing-masing dari mereka menyebutkan salah satu jenis amalan tertentu, yang dijadikan sebagai contoh untuk memudahkan dalam memahami ayat tersebut, bukan sebagai pembatas makna ayat. (Lihat pembahasan rinci Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa, 13/333-338)
Bila kita memahami hal ini maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya kebanyakan perselisihan di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kembalinya kepada dua macam penafsiran yang telah kita sebutkan. Bukan merupakan perselisihan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Wallahu a’lam.

Read more...

  ©Template by Dicas Blogger.